Kamis, 16 Desember 2010

Landasan pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Kemajuan Ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi menyebabkan arus komunikasi menjadi cepat dan tanpa batas. Hal ini berdampak lagsung pada bidang Norma kehidupan dan ekonomi, seperti tersingkirnya tenaga kerja yang kurang berpendidikan dan kurang trampil, terkikisnya budaya lokal karena cepatnya arus informasi dan budaya global, serta menurunnya norma-norma masyarakat kita yang bersifat pluralistik sehingga rawan terhadap timbulnya gejolak sosial dan disintegrasi bangsa. Adanya pasar bebas, kemampuan bersaing, penguasaan pengetahuan dan tegnologi, menjadi semakin penting untuk kemajuan suatu bangsa. Ukuran kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dari modal fisik atau sumber daya alam ke modal intelektual, pengetahuan, sosial, dan kepercayaan.
Hal ini membutuhkan pendidikan yang memberikan kecakapan hidup (Life Skill), yaitu yang memberikan keterampilan, kemahiran, dan keahlian dengan kompetensi tinggi pada peserta didik sehingga selalu mampu bertahan dalam suasana yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif dalam kehidupannya. Kecakapan ini sebenarnya telah diperoleh siswa sejak dini mulai pendidikan formal di sekolah maupun yang bersifat informal, yang akan membuatnya menjadi masyrakat berpengetahuan yang belajar sepanjang hayat (Life Long Learning).
Landasan pendidikan, secara singkat dapat dikatakan sebagai tempat bertumpu atau dasar dalam melakikan analisis kritis terhadap kaidah-kaidah dan kenyataan (fakta) tentang kebijakan dan praktek pendidikan (soedomo, 1989/1990). Sedangkan azas pendidikan merupakan tumpuan cara berfikir yang memberikan corak terhadap penyelenggaraan pendidikan (titarahardja dan sulo 1984).

1.2.Tujuan
Dalam pokok ini dibahas tentang landasan dan azas-azas pendidikan serta penerapannya di dalam praktek sehingga memantapkan setiap usaha yang dilakukan dalam melatih, membimbing serta membelajarkan peserta didik yang merupakan kewajiban utama kita sebagai pendidik yang professional.
Dalam bab ini akan dibahas tentang landasan pendidikan :
1.      Filosofis : pancasila
2.      Sosiologis : masyarakat Indonesia
3.      Cultural : kebudayaan nasional
4.      Psikologis : perkembangan peserta didik
5.      Ilmiah dan teknologi : IPTEKS
6.      Legalistik/ hukum : UU dan peraturan
















BAB II
PEMBAHASAN


Landasan dan Azas-Azas Pendidikan Serta Penerapannya

Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak darisejumlah landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk mnjemput masa depan.
Bab  ini akan memusatkan paparan dalam berbagai landasan dan asas pendidikan, serta beberapa hal yang berkaitan dengan penerapannya. Landasan-landasan pendidikan tersebut adalah filosofis, kultural, psikologis, serta ilmiah dan teknologi. Sedangkan asas yang dikalia adalah asas Tut Wuri Handayani, belajar sepanjang hayat, kemandirian dalam belajar
A.    LANDASAN PENDIDIKAN
1.      Landasan Filososfis
a.      Pengertian Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakekat pendidikan, landasan yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok dalam pendidikan. Landasan filosofis adalah landasan yang bedasarkan filsafat. Sesuai dengan sifatnya, maka landasan filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluuh dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai kehidupan dan dunia.
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan, meyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Ada berbagai macam filsafat pendidikan lima diantaramya yang dominan adalah :
a)      Esensial (klasik)
Filsafat pendidikan esensialisme memandang bahwa yang berhakiki atau yang esensi ialah kebudayaan klsik yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya di masysrakat. Yang ternyata sudah terbukti memberi buah berupa ahli-ahli yang bersifat internasional Kebudayaan klasik itu yang muncul dizaman Romawi, mereka mempergunakan buku-buku klasik yang ditulis dengan bahasa latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku inilah yang menjadi bahan pelajaran yang utama.
Alat mengasah otak ini tidak ada bandingnya di dunia. Bahasa latin dengan kebudayaan Yunani dan Romawai ini adalah alat yang nomor satu. Alat inilah yang sudah terbukti kemampuannya berabad-abad lamanya. Filsafat ini menghendaki pendidikan berfikir yang logis Penganut filsafat ini berpendapat bahwa bila seorang bisa berfikir logis maka ia akan mudah melakukan tugas dalam kehidupannya sehari-hari.Filsafat ini mementingkan pendidikan logika.
b)      Tradisionalis
Filasafat pendidikan tradisionalisme memiliki kesamaan dengan filsafat pendidikan esensialisme dalam segi materi yang dipelajari. Yaitu kedua-duanya mempelajari kebudayaan Yunani dan Romawi. Bedanya ialah kalau esensialisme menekankan pada bahasa latinnya sebagai alat pengasah otak untuk memiliki logika yang baik, maka tradisionalisme menekankan pada kebudayaan sebagai sarana untuk membentuk emosi atau cita rasa yang indah. Penganut filsafat ini memandang tradisi pada zaman pertengahan dan zaman-zaman sebelumnya yang indah itu diwarnai oleh kebudayaan klasik perlu dipertahankan, sebab sudah terbukti kebenarannya yang membuat kehidupan manusia stabil. Tata tertib masyarakat pada abad XX ini yang mulai goyah adalah akibat mengingkari tradisi yang baik itu.
Abad XX ini sudah menyeleweng yang menimbulkan krisis dunia. Berarti pendidikan yang di inginkan oleh filsafat ini adalah pendidikan yang tujuan, materi, dan metodenya tetap, yang sudah terbukti baik berabad-abad lamanya. Dalam hal ini adalah pendidikan seperti yang dilaksanakan di Eropa pada zaman Yunani dan Romawi pertengahan dengan buku-buku yang klasik pula.

c)      Perenilisme
Filsafat pendidikan perenialisme bertitik tolak pada sesuatu yang abadi adalah suatu yang bersumber dari Tuhan. Mereka yakin bahwa sesuatu yang abadi inilah yang paling benar maka pendidikan pun harus sejalan dengan ini muncul dan berkembang pesat abad zaman pertengahan sebagian besar Negara-negara di Eropa dikuasai oleh dewa gereja akibat pengaruh filsafat ini.

d)     Progresifisme
Filsafat pendidikan progresifisme lahir di Amerika. Sejalan dengan jiwa Amreika sebagai bangsa yang dinamis berjuang mencari hidup baru di negeri seberang, maka dinamika ini pun tercermin dalam filsafatnya. Bagi mereka tidak ada hidup yang tetap dengan nilai-nilai abadi. Yang ada adalah perubahan, segala sesuatu yang berubah. Hari ini mereka lihat adalah kehidupan nyata sehari-hari.
Demikianlah progresifisme mempunyai jiwa perubahan, relatifitas. Kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perubahan nyata. Menurut filsafat ini tidak ada tujuan yang pasti begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Tujuan dan kebenaran ini bersifat relatif. Karena tujuan tidak pasti, maka cara atau alat untuk mencapai tujuan itupun tidak pasti. Tujuan dan alat bagi mereka adalah satu artinya jika tujuan dan alatpun berubah. Pendidikan yang di inginkan filsafat ini adalah pendidikan yang selalu mencari sesuatu yang lebih baik beberapa prinsip pendidikan ditujuankan untuk mampu mencapai cita-cita yang lebih baik.



e)      Rekonstruksionalisme
Filsafat rekonstruksionalisme berupaya mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total semua segi kehidupan harus diubah dan dibuat baru. Aliran filsafat yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan

b.      Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidkan Nasional
Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945.  Rincian tentang dasar pendidikan tersebut tercantum dalam penjelsan UU RI no 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional yang menegaskan bahwa pembangunan nasional termasuk pendidikan adalah pengalaman pancasila. Sehubungan dengan itu pendidikan nasional mengusahakan pembentukan manusia pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mandiri. Sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.
Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pancasila adalah sumber system nilai dalam pendidikan. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa pancasila adalah landasan filosofis dalam segala kebijakan dan praktik pendidikan.
Kajian yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan di Indonesia, dewasa ini adalah penggalangan kembali landasan berpikir ideologis dalam dunia persekolahan menurut Pancasila. Jangan mentang-mentang karena reformasi dan amandemen UUD 1945 akhirnya kebablasan sehingga nilai-nilai materil dan spiritual dari Pancasila sengaja diabaikan atau malah terabaikan.
Sebagai bangsa yang besar dan bermartabat, walaupun sering dilecehkan oleh bangsa-bangsa lain. Sudah sepatutnya diadakan peninjauan refleksionis ke hati nurani kaum warga bangsa ini. Kita mengaku sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, warga negara Indonesia. Sebagaimana sila pembuka dari Pancasila, yaitu memiliki kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Memberikan ruang publik kepada seluruh warga negaranya untuk mempercayai dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing berdasar kemanusiaan yang adil dan beradab dengan mengedepankan sikap saling menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda dengan tetap menjaga kerukunan sesama umat beragama.
Agama adalah pilihan masing-masing warga negara menyangkut hubungan pribadi yang vertikal dengan Sang Pencipta dan tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
Menyangkut sila kedua sebagai landasan, yakni :
Memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan yang sederajat, mempunyai persamaan hak dan kewajiban yang asasi tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, ras, kepercayaan, jenis kulit, strata sosial, warna. Tenggang rasa dan tepo seliro merupakan implementasi konkrit dari perlakuan manusia secara utuh.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari pergaulan dunia juga menghormati bangsa lain dan bekerjasama.
Menyangkut sila ke-3, yakni:
Menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama. Rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa bila diperlukan. Memiliki rasa cinta tanah air dan bangsa Indonesia. Serta turut berperan serta dalam ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Memupuk pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Pernyataan dari sila ke-4, yaitu :
Warga negara dan rakyat Indonesia mempunyai kedudukan, hak, serta kewajiban yang sama. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. Mendahulukan permusyawaratan demi mencapai permufakatan sesama untuk mengambil keputusan demi kepentingan bersama. Musyawarah disemangati rasa kekeluargaan yang tinggi dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai dalam permufakatan. Bertanggung jawab menerima dan melaksanakan keputusan musyawarah dengan tetap mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Permusyawaratan dilakukan dengan akal sehat sesuai hati nurani yang luhur dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Cakupan sila ke-5 :
Mengedepankan perbuatan luhur dengan kegiatan sosial kemanusiaan yang mencerminkan budi luhur, sikap dan suasana kekeluargaan maupun semangat gotong royong. Dalam perbuatan luhur tetap menjaga sikap adil terhadap sesama, kesetaraan hak dan kewajiban, menghormati hak orang lain, tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat premanisme, pemerasan terhadap orang lain, pemborosan dan bergaya hidup mewah yang bertentangan atau bahkan merugikan kepentingan umum.  Sebagai warga negara Indonesia seutuhnya gemar melakukan kegiatan untuk mewujudkan kemajuan yang merata dan meningkatnya keadilan sosial masyarakat.

2.      Landasan Sosiologis
a.      Pengertian Landasan Sosiologis
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang juga  terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit dari pengelompokan hewan. Pada hewan, hidup berkelompok memiliki ciri-ciri (Wayan Ardhana, 1968)  sebagai berikut: (a) ada pembagian kerja, (b) ada ketergantungan antar anggota, (c) ada kerjasama antar anggota, (d) ada komunikasi antar anggota, (e) ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam kelompok lain. Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia. Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan tentang masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh filsafat. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain.
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di bentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.


b.      Latar belakang historis sosiologi pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. al., 2007:  78).
Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat untuk memecahkan permasalahan social dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yang menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology dan menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1948, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan dari American Sociological Society.
Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Educationdengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal of Educational Sociology menjadi  Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena pergeseran pandangan tentang masyarakat sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96). Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan yang terkemuka adalah Durkheim (1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan Pendidikan pada Universitas Sorbonne.
Di Jerman, Max Weber (1864-1920) menyoroti keadaan dan penyelenggaraan pendidikan pada masyarakat dengan latar belakang sosial budaya serta tingkat kemajuan berbeda. Sedang di Inggris, perhatian sosiologi pada pendidikan pada awalnya kurang berkembang karena pelopor sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer (1820-1903) justru merupakan Darwinisme Sosial. Namun belakangan, di Inggris muncul aliran sosiologi yang memfokuskan perhatiannya akan analisis pendidikan pada level mikro, yaitu mengenai interaksi social yang terjadi dalam ruang belajar. Berstein, misalnya, berusaha dengan jalan menyajikan lukisan tentang kenyataan dan permasalahan yang terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan agar para pengambil keputusan menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat. Pendekatan Berstein ini oleh Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic, descriptive, and policy focused (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 80).
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.
c.       Landasan sosiologi pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma social yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain.  Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri,  antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat.  Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.
d.      Ruang lingkup dan fungsi kajian sosiologi pendidikan
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) adalah cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut: (1) Hubungan sistem pendidikan dengan sistem social lain, (2) Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, (3) Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan, (4) Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 81).  Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat defenisi sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi social antara orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik  (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 82).
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga fungsi pokok:
Pertama, fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk diperlukan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan hukum-hukum yang mantap, data dan informasi mengenai hasil penelitian lapangan yang actual, baik dari lingkungan sendiri maupun dari lingkungan lain, serta informasi tentang masalah dan tantangan yang dihadapi. Dengan informasi yang lengkap dan akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang dihadapi secara akurat. Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.
Kedua, fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan dengan  itu, tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat melalui berbagai media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.
Ketiga, fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara pendidikan dengan pranata kehidupan lain.
e.       Masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologis sistem pendidikan nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat  sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama, antara lain: (1) ada interaksi antara warga-warganya, (2)  pola tingkah laku warganya diatur oleh adapt istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas, (3) ada rasa identitas kuat yang mengikat para warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat Indonesia mempnyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (2) memiliki struktur social yang terbagi-bagi, (3) seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara kelompok relative seringkali mengalami konflik, (5) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).
Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Berbagai upaya telah dilakukan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) di sekitarnya. (Landasan Sosiologi Pendidikan, 20 Maret 2010 — Abied)
3.      Landasan Kultural
a.      Pengertian Landasan Kultural
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan/ dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal maupun informal. Anggota masyarakat berusaha melakukan perubahan-perubahan yang sesuai denganperkembangan zaman sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nlai-nilai, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Pada masyarakat primitif, transmisi kebudayaan dilakukan secara informal dan non-formal sedangkan pada masyarakat yang telah maju transmisi kebudayaan dilakukan secara informal, non-formal dan formal.  Pada masyarakat yang sudah maju sekolah sebagai lembaga sosial yang mempunyai peranan yang sangat penting sebab pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai transmisi kepada generasi penerus tetapi juga mentransformasikan kebudayaan agar sesuai dengan perkembangan dan tujuan zaman.
Pandangan hidup suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan bangsa yang bersangkutan. Bangsa yang tidak memiliki pandangan hidup adalah bangsa yang tidak memiliki jati diri (identitas) dan kepribadian, sehingga akan dengan mudah terombang-ambing dalam menjalani kehidupannya, terutama pada saat-saat menghadapi berbagai tantangan dan pengaruh baik yang datang dari luar maupun yang muncul dari dalam, lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia adalah jati diri dan kepribadian bangsa yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam budaya masyarakat Indonesia sendiri dengan memiliki sifat keterbukaan sehingga dapat mengadaptasikan dirinya dengan dan terhadap perkembangan zaman di samping memiliki dinamika internal secara selektif dalam proses adaptasi yang dilakukannya. Dengan demikian generasi penerus bangsa dapat memperkaya nilai-nilai Pancasila sesuai dengan tingkat perkembangan dan tantangan zaman yang dihadapinya terutama dalam meraih keunggulan IPTEK tanpa kehilangan jati dirinya.
Landasan kultural mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan berbudaya suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada berbagai dimensi (Sastrapratedja, 1992:145): kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri sebagai mahluk yang “belum selesai” dan harus berkembang, maka kebudayaan juga terkait dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia yang asasi:
ü  Kebudayaan dapat dipahami sebagai strategi manusia dalam menghadapi lingkungannya.
ü  kebudayaan merupakan suatu sistem dan terkait dengan sistem sosial. Kebudayaan dari satu pihak mengkondisikan suatu sistem sosial dalam arti ikut serta membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem sosial.
Dengan memperhatikan berbagai dimensi kebudayaan tersebut di atas dapat dikemukakan, bahwa landasan kultural pendidikan di Indonesia haruslah mampu memberi jawaban terhadap masalah berikut:
·         Semangat kekeluargaan dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan pendidikan.
·         Rule of law dalam masyarakat yang berbudasya kekeluargaan dan kebersamaan.
·         Apa yang menjadi “etos” masyarakat Indonesia dalam kaitan waktu, alam, dan kerja, serta kebiasaan masyarakat Indonesia yang menjadi “etos” sesuai dengan budaya Pancasila; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras tangguh bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, sehat jasmani dan rohani.
·         Cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya, sejarahnya, dan tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap warga memandang dirinya dalam masyarakat yang integralistik, bagaimana perkembanga cara peningkatan hrkat dan martabat sebagai manusia, apa yang menjadi tujuan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

b.      Kebudayaan sebagai Landasan Sistem Pendidkan Nasional
Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini harsulah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.
Untuk menghindarkan kegoncangan budaya dalam penyelenggaraan pendidikan, Dewantara (1977) memberikan tiga azas yang disebut trikon :.

1.      Kontinuitet, artinya bahwa garis hidup sekarang harus merupakan lanjutan hidup yang silam.
2.      Konvergensi, merupakan keharusan untuk menghindari hidup menyendiri atau mengisolasi diri
3.      Konsertristet, berarti kebudayaan boleh digunakan dan diintegrasikan dengan kebudayaan sendiri namun jangan sampai kehilangan jati diri.

Upaya pengembangan pendidikan dalam budaya nasional :
1.      Melestrikan dan mengembangakan nilai-nilai luhur budaya bangsa
2.      Mengembangkan nilai-nilai budaya dan panata social dalam menunjang proses pembangunan nasional
3.      Merancang kegairahan masyarakat untuk menunbuhkan kreativitas ke arah pembaharuan dalam usaha pendidikan yang tanpa mengabaikan kepribadian bangsa.

4.      Landasan Psikologis
a.      Pengertian Landasan psikologis
Dasar psikologis berkaitan dengan prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak. Pemahaman terhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan.
Landasan psikologis mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik.  Hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik sejak proses terjadinya konsepsi sampai mati manusia akan mengalami perubahan karena bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan itu bersifat jasmaniah maupun kejiwaannya. Jadi sepanjang kehidupan manusia terjadi proses pertumbuhan yang terus-menerus. Proses perubahan itu terjadi secara teratur dan terarah, yaitu ke arah kemajuan, bukan kemunduran. Tiap tahap kemajuan pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya kemampuan dan cara baru yang dimiliki. Pertumbuhan merupakan peralihan tingkah laku atau fungsi kejiwaan dari yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Perubahan-perubahan yang selalu terjadi itu dimaksudkan agar orang didalam kehidupannya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan manusia terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fiik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar anak yang non manusia; sedangkan lingkungan sosial adalah semua orang yang ada didalam kehidupan anak, yakni orang yang bergaul dengan anak, melakukan kegiatan bersama atau bekerja sama. Tugas pendidikan yang terutama adalah memberikan bimbingan agar pertumbuhan anak dapat berlangsung secara wajar dan optimal. Oleh karena itu, diperlukan pngetahuan tentang hukum-hukum dasar perkembangan kejiwaan manusia agar tindakan pendidikan yang dilaksanakan berhasil guna dan berdaya guna. Beberapa hukum dasar yang perlu kita perhatikan dalam membimbing anak dalam proses pendidikan.

b.      Perkembangan Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis
Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan efisien.


Tiap-Tiap Anak Memiliki Sifat Kepribadian yang Unik
Anak didik merupakan pribadi yang sdang bertumbuh dan berkembang. Apabia kita amati secara seksama, mungkin kita menghadapi dua anak didik yang tidak sama benar. Di samping memiliki kesamaan-kesamaan, tentu masing-masing punya sifat yang khas, yang hanya dimiliki oleh diri masing-masing. Diakatakan, bahwa tiap-tiap anak memiliki sifat kepribadian yang unik; artinya anak memiliki sifat-sifat khas yang dimiliki oleh dirinya sendiri dan tidak oleh anak lain.
Keunikan sifat pribadi seseorang itu terbentuk karena peranan tiga faktor penting, yakni:


·         Keturunan/ heredity.
·         Lingkungan/ environment.
·         Diri/ self.

Faktor Keturunan
Sejak terjadinya konsepsi, yakni proses pembuahan sel telur oleh sel jantan, anak memperoleh warisan sifat-sifat pembawaan dari kedua orang tuanya yang merupakan potensi-potensi tertentu. Potensi ini relatif sudah terbentuk (fixed) yang sukar berubah baik melalui usaha kegiatan pendidikan maupun pemberian pengalaman. Beberapa ahli ilmu pengetahuan terutama ahli biologi menekankan pentingnya faktor keturunan ini bagi pertumbuhan fisik, mental, maupun sifat kepribadian yang diinginkan. Pandangan ini nampaknya memang cocok untuk dunia hewan. Namun demikian, dalam lingkungan kehidupan manusia biasanya potensi individu juga merupakan masalah penting. Sedang para ahli ilmu jiwa yang menekankan pentingnya lingkungan seseorang dalam pertumbuhannya cenderung mengecilkan pengaruh pembawaan ini (naïve endowment). Mereka lebih menekankan pentingnya penggunaan secara berdaya guna pengalaman sosial dan edukasional agar seseorang dapat bertumbuh secara sehat dengan penyesuaian hidup secara baik.

Faktor Lingkungan
Sebagaimana diterangkan di muka, lingkungan kehidupan itu terdiri dari lingkungan yang bersifat sosial dan fisik. Sejak anak dilahirkan bahkan ketika masih dalam kandungan ibu, anak mendapat pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimanya, keadaan panas lingkungannya dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan. Sama pentingnya dengan kondisi lingkungan anak yang berupa sikap, perilaku orang-orang di sekitar anak. Kebiasaan makan, berjalan, berpakaian, itu bukan pembawaan, melainkan hal-hal yang diperoleh dan dipelajari anak dari lingkungan sosialnya. Bahasa yang dipergunakan merupakan media penting untuk menyerap kebudayaan masyarakat dimana anak tinggal. Tidak saja makna hafiah kata yang terdapat dalam bahasa itu melainkan juga asosiasi perasaan yang menyertai kata dalam perbuatan.

Faktor Diri
Faktor penting yang sering diabaikan dalam memahami prinsip pertumbuhan anak ialah faktor diri (self), yaitu faktor kejiwaan seseorang. Kehidupan kejiwaan itu terdiri dari perasaan, usaha, pikiran, pandangan, penilaian, keyakinan, sikap, dan anggapan yang semuanya akan berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari. Apabila dapat dipahami diri seseorang, maka dapat dipahami pola kehidupannya. Pengetahuan kita tentang pola hidup seseorang akan dapat membantu kita untuk memahami apa yang menjadi tujuan orang itu dibalik perbuatan yang dilakukan. Seringkali kita menginterpretasikan pengaruh pembawaan dan lingkungan secara mekanis tanpa memperhitungkan faktor lain yang tidak kurang pentingnya bagi pertumbuhan anak, yaitu diri (self). Memang pengaruh pembawaan dan lingkungan bagi pertumbuhan anak saling berkaitan dan saling melengkapi; tetapi masalah pertumbuhan belum berakhir tanpa memperhitungkan peranan self, yakni bagaimana seseorang menggunakan potensi yang dimiliki dan lingkungannya. Di sinilah pemahaman tentang self atau pola hidup dapat membantu memahami seseorang. Self mempunyai pengaruh yang besar untuk menginterprestasikan kuatnya daya pembawaan dan kuatnya daya lingkungan. Contoh yang ekstrim ada anak yang cacat fisik, tetapi beberapa fungsinya tetap berdaya guna, sedang anak cacat yang lain menggunakan kecacatannya sebagai suatu alasan untuk ketidakmampuannya. Ini tidak lain karena pernana self. Self berinteraksi dengan pembawaan dan lingkungan yang membentuk pribadi seseorang.

Tiap Anak Memiliki Kecerdasan yang Berbeda-beda
Sebagaimana diterangkan di atas, sejak anak dilahirkan, mereka itu memiliki potensi yang berbeda-beda dan bervariasi. Pendidikan memberi hak kepada anak untuk mengembangkan potensinya.  Kalau kita perhatikan siswa-siswa, kita akan segera mengetahui bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, meskipun mereka mempunyai usai kalender yang sama, tetapi kemampuan mentalnya tidak sama. Dikatakan mereka memiliki usia kronologis yang sama, tetapi usia kecerdasan yang tidak sama. Jadi setiap anak memiliki indeks kecerdasan yang berbeda-beda. Indeks kecerdasan atau IQ diperoleh dari hasil membagi usia kecerdasan denga usia kalender (usia senyatanya) dikalikan 100. Baik usia kecerdasan maupun usia kronologis (usia senyatanya) dinyatakan dalam satuan bulan.
Contoh:
Seorang anak dengan usia kecerdasan 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan) diambil dari hasil tes intelegensi yang valid dan reliabel. Usia kronologisnya 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan), maka IQ anak tersebut 100. Untuk kepentingan praktis IQ normal ditentukan antara 90 – 10.  Dengan melihat indeks kecerdasan anak, kita dapat mengklasifikasi anak itu pada kecerdasan tertentu.

Klasifikasi Kecerdasan
IQ Klasifikasi
> 140 Genius
130 – 139 Sangat Pandai
120 – 129 Pandai
110 – 119 Di atas Normal
90 –109 Normal/Sedang
80 – 89 Di bawah Normal
70 – 79 Bodoh
50 – 69 Feeble Minded: Moron
< 49 Feeble Monded: Imbicile/Idiot

Anak golongan idiot mempunyai kemampuan mental yang paling rendah. Golongan ini tidak dapat melindungi dirinya dari bahaya atau melayani kebutuhan dirinya sendiri. Umurnya biasanya tidak panjang dan hanya mampu menumbuhkan kemampuan mentalnya pada tingkat usia 4 tahun.
Golongan imbicile satu tingkat lebih baik daripada golongan idiot. Anak golongan imbicile dapat dilatih untuk melayani kebutuhan dirinya dan menguasai ketrampilan sederhana dengan bimbingan khusus. Anak golongan ini dapat mencapai usia dewasa, tetapi jarang sekali mencapai usia kecerdasan lebih dari tingkatan usia 8 tahun. Sedangkan golongan moron mampu melayanai kebutuhan dirinya. Dengan pendidikan sekolah yang direncanakan dengan seksama, mereka dapat mempelajari hal-hal yang sederhana dan menguasai ketrampilan yang terbatas untuk lapangan pekerjaan yang sederhana. Usia mental golongan moron jarang sekali mencapai tingkat usia 12 tahun. Terbuka kemungkinan memasuki lapangan pekerjaan yang menguntungkan dirinya sendiri dan yang mengerjakannya. Golongan genius pada waktu sekarang lebih mendapat perhatian para ahli daripada sebelumnya. Kemampuan berpikir dan penalaran golongan pada tingkatan kemampuan mental yang tinggi, sehingga mampu melakukan kegiatan yang bersifat kreatif dan invertif. Anak-anak berbakat ini ditemukan ada pada semua bangsa dan pada semua tingkatan sosial ekonomi dan semua jenis (laki-laki atau perempuan). Berdasarkan data yang ada ternyata jumlah jenius laki-laki lebih banyak dari perempuan. Berdasarkan penyelidikan Terman; anak-anak berbakat, kondisi fisiknya lebih baik dari yang normal, lebih kuat dan sehat dari umumnya anak-anak pada usia yang sama. Dalam hal penyesuaian sosial sama baiknya.

Tiap Tahap Pertumbuhan Mempunyai Ciri-ciri Tertentu
Karena tiap tahap pertumbuhan itu memiliki ciri-ciri tertentu hal ini dapat membantu pendidik untuk mengatur strategi pendidikan dengan kesiapan anak muda untuk menerima, memahami dan menguasai bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan. Jadi strategi pendidikan untuk siwa Sekolah Taman Kanak-kanak akan berbeda dengan strategi yang diperuntukkan siswa Sekolah Dasar. Demikian juga dengan jenjang persekolahan yang lain.



5.      Landasan Ilmiah dan Teknologis
a.      Pengertian Landasan IPTEK
Landasan ilmiah dan teknologi pendidikan mengandung makna norma dasar yang bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengikat dan mengharuskan pelaksana pendidikan untuk menerapkannya dalam usaha pendidikan. Norma dasarnya yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus mengandung ciri-ciri keilmuan yang hakiki (Lihat jurnal pendidikan, Mei 1989).
1.      Ontologis, yakni adanya objek penalaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diamati dan diuji.
2.      Epistomologis, yakni adanya cara untuk menelaah objek tersebut dengan metode ilmiah.
3.       Aksiologis, yakni adanya nilai kegunaan bagi kepentingan dan kesejahteraan lahir batin.
Kebutuhan pendidikan yang mendesak cenderung memaksa tenaga pendidik untuk mengadopsinya teknologi dari berbagai bidang teknologi ke  dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah mendapat perhatian yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.
b.      Perkembangan IPTEK sebagai Landasan Ilmiah
Iptek merupakan salah satu hasil pemikiran manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang dimualai pada permulaan kehidupan manusia. Lembaga pendidikan, utamanya pendidikan jalur sekolah harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek. Bahan ajar sejogjanya hasil perkembangan iptek mutahir, baik yang berkaitan dengan hasil perolehan informasi maupun cara memproleh informasi itu dan manfaatnya bagi masyarakat
Bagi pendidikan di Indonesia yang menjadi objek penalaran seluruh aspek kehidupan diklasifikasikan ke dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta agama. Yang dalam pengembangannya senantiasa harus dipedomi nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula cara telaah objek penalaran aspek kehidupan tersebut selain memperhatikan segi ilmiahnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Nilai kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya terkait dengan peningkatan kesejahteraan lahir batin, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing sebagai bangsa, serta tidak bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa.
Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melandasi pendidikan harus mampu :
Ø  memberikan kesejahteraan lahir dan batin setinggi-tingginya.
Ø  mendorong pemanfaatan pengembangan sesuai tuntutan zaman.
Ø  menjamin penggunaannya secara bertanggung jawab.
Ø  memberi dukungan nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa.
Ø  mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ø  meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas sumber daya manusia.S

6.      Landasan Legalistik/ hukum
Pendidikan merupakan peristiwa multidimensi, bersangkut paut dengan berbagai aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Kebijakan, penyelenggaraan, dan pengembangan pendidikan dalam masyarakat perlu disalurkan oleh titik tumpu legalistic yang jelas dan sah. Dengan berlandaskan legalistic, kebijakan, penyelenggaraan, dan pengembangan pendidikan terhindar dari berbagai benturan kebutuhan. Setidaknya dengan landasan legalistic segala hak dan kewajiban pendidik dan peserta didik dapat terpelihara.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan penyelenggaraan, dan pengembangan pendidikan disamping baru memperoleh perlindungan hokum, dengan landasan legalistic semua pihak tersebut mengetahui hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan pendidikan. Semuanya itu, dapat diketahui melalui perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Selain daripada itu, dengan landasan legalistic dapat dikaji posisi, fungsi, dan permasalahan pendidikan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, tata urut berbagai produk peraturan perundang-undangan perlu ditemukan dalam rangka pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan praktik pendidikan agar penyimpangan dan kealpaan diketahui sedini mungkin.
Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titiktolak.Sementara itu kata hukum dapat dipandang sebagai aturan baku yang patutditaati. Aturan baku yang sudah disahkan oleh pemerintah ini , bila dilanggar akanmendapatkan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku pula. Landasan hukumdapat diartikan peraturan baku sebagai tempat terpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan – kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan.
a.       Pendidikan menurut Undang-Undang 1945
Undang – Undang Dasar 1945 adalah merupakan hukum tertinggi diIndonesia. Pasal – pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam Undang –Undang Dasar 1945 hanya 2 pasal, yaitu pasal 31 dan Pasal 32. Yang satu menceritakan tentang pendidikan dan yang satu menceritakan tentang kebudayaan. Pasal 31 Ayat 1 berbunyi : Tiap – tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Dan ayat 2 pasal ini berbunyi : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajar Pasal 32 pada Undang– Undang Dasar berbunyi : Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia yang diatur dengan Undang – Undang.


b.      Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional
Tidak semua pasal akan dibahas dalam makalah ini. Yang dibahas adalahpasal – pasal penting terutama yang membutuhkan penjelasan lebih mendalamserta sebagai acuan untuk mengembangkan pendidikan. Pertama – tama adalah Pasal 1 Ayat 2 dan Ayat 7. Ayat 2 berbunyi sebagai berikut : Pendidikan nasionaladalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan nasional yang berdasarkan padaPancasila dan Undang – Undang Dasar 45. Undang – undang ini mengharuskan pendidikan berakar pada kebudayaan nasional yang berdasarkan pada pancasila dan Undang – Undang dasar 1945, yang selanjutnya disebut kebudayaan Indonesia saja. Ini berarti teori – teori pendidikan dan praktek – praktek pendidikan yang diterapkan di Indonesia, tidak boleh tidak haruslah berakar padakebudayaan Indonesia.“Selanjutnya Pasal 1 Ayat 7 berbunyi : Tenaga Pendidik adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan. Menurut ayat ini yang berhak menjadi tenaga kependidikan adalah setiap anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya dalam penyelenggaraan pendidikan. Sedang yang dimaksud dengan Tenaga Kependidikan tertera dalam pasal 27 ayat 2, yang mengatakan tenaga kependidikan mencakup tenagapendidik, pengelola/ kepala lembaga pendidikan, penilik/ pengawas, peneliti, dan pengembang pendidikan, pustakawan, laporan, dan teknisi sumber belajar.”

7.      Landasan Ekonomi
Pada zaman pasca modern atau globalisasi sekarang ini,yang sebagian manusianya cenderung mengutamakan kesejahteraan materi dibandingkan kesejahteraan rohani, membuat ekonomi menjadi perhatian yang sangat besar, tidak banyak orang yang mementingkan peningkatan spiritual. Kecendrungan tersebut diatas sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya terutama dalam bidang tekhnologi, kesenian, dan pariwisata serta ekonomi, berbagai produk baru yang semakin canggih ditawarkan, dan hal-hal yang lain yang berkenaan dengan perekonomian sehingga situasi seperti ini membuat kebanyakan orang berusaha mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya.

Peran Ekonomi Dalam Pendidikan
Dunia sekarang banyak di sibukkan dengan masalah politik yang membuat pertentangan baik masalah tentang ekonomi dan perdagangan, juga disibukkan dengan perang dingin dan perang embargo ekonomi, masing –masing negara berlomba membentuk organisasi yang betujuan untuk memajukan perekonomian mereka.,selain memajukan perekonomian di negeri sendiri sejumlah negara makmur memberikan bantuan ekonomi kenegara yang sedang berkembang,seperti contoh bantuan dana khusus dan pinjaman lunak. Adapun bentuk kerjasama yang lain adalah diproduksinya komponen-komponen produksi yang lain artinya bahwa hasil produksi suatu negara dapat dibantukan ke negara yang membutuhkannya, semua ini merupakan wujud dan globalisasi ekonomi. Seperti negara kita mengkspor produk batik ke negara Amerika, dan negara tersebut memberikan bantuan dana pinjaman lunak kepada negara Indonesia untuk memajukan perekonomian negara kita.
Kalau dulu ekonomi memegang peranan penting bagi kehidupan rakyat Indonesia maka kini disamping alasan seperti itu juga jangan sampai kita kalah bersaing dalam era globalisasi ekonomi, Akan tetapi karena kebanyakan kebijaksanaan dan peraturan di buat maka banyak sekali timbul ketidak harmonisan antar para pengusaha dalam menjalankan roda ekonomi yang menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka oleh sebab itu di era globalisasi sekarang ini keterpurukan ekonomi di Indonesia akan diterapkan kebijaksanaan dan peraturan yang baru dan memperbaiki perekonomian bangsa sehingga rakyat yang menderita dapat dengan segera menikmati hasil perekonomian kita yang mapan di masa yang akan datang baik perekonomian yang bersifat makro dan mikro. Perkembangan perekonomian makro berpengaruh sekali dalam bidang pendidikan, seperti sekarang ini banyak sekali orang kaya yang mau menjadi bapak angkat bagi anak-anak yang tidak mampu untuk menempuh pendidikan kejenjang yang lebih baik. Perkembangan lain yang sangat mengembirakan adalah terlaksananya sistem ganda dalam dunia pendidikan, hal ini berlangsung baik di lembaga pendidikan yaitu kerjasama sekolah dengan pihak usahawan dalam proses belajar mengajar. Kemajuan pembangunan perekonomian secara makro dapat juga berdampak timbulnya sekolah-sekolah unggul yang memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap karena di biayai dan dipunyai oleh kebanyakan orang –orang kaya Walaupun kebijakan dan program sekolah ini tidak sama dengan yang lain, diharapkan agar tidak terdapat pilih-kasih dalam menerima para siswa artinya calon siswa dari manapun asalnya hendaklah dapat diberikan kesempatan dalam menempuh pendidikan di sekolah unggulan tersebut ,dan yang paling penting juga adalah dapat menghasilkan lulusan yang bermutu serta tidak menyimpang dengan tujuan pendidikan nasional negara kita.
Berbicara tentang sekolah unggulan. BUCHORI (1996), menyatakan bahwa:
  • Untuk membuat para siswa mencintai prestasi yang tinggi.
  • Mau dan bisa bekerja secara sempurna
  • Memiliki etos kerja dan membenci kerja setengah-setengah
  • Keseimbangan pengembangan jasmani dan rohani, serta penguasaan pengetahuan masa sekarang dengan pengetahuan masa lampau.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa ekonomi itu memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang, walaupun orang tersebut menyadari bahwa kehidupan gemerlap tidak menjamin kebahagiaan, yang penting bagi mereka bagaimana dapat meraih tingkat perekonomian yang lebih tinggi lagi.Banyak sekali keluarga miskin yang dalam perekonomian mereka hanya dapat untuk makan saja, dan tidak dapat membiayai sekolah bagi anak-anaknya, kata miskin diatas diukur dari tingkat perekonomian bukan tingkat rohani dan kualitas mental.

Fungsi Produksi Dalam Pendidikan
Dibawah ini dijelaskan bahwa fungsi produksi dalam pendidikan, menurut Thomas (tt) adalah hubungan antara output dan input, berikut ini penjelasan tentang fungsi produksi dimana ada tiga bagian yaitu:

1)      Fungsi Produksi Administator
Yang dipandang input adalah segala sesuatu yang menjadi wahana dan proses dalam pendidikan, maksudnya adalah input disini meliputi
  1. Prasarana dan sarana belajar, termasuk ruangan kelas dapat diuangkan, artinya bahwa perhitungan luas dan kualitas bangunan.
  2. Perlengkapan belajar di sekolah seperti media, alat peraga juga dihitung harganya
  3. Buku-buku pelajaran, dan barang-barang yang habis dipakai seperti zat kimia dilaboratorium
  4. Waktu guru bekerja, dan perangkat pegawai administrasi dalam memproses peserta didik harus dibeli dan dibayar.
Sementara itu yang dipandang sebagai output adalah berbagai bentuk layanan dalam memproses peserta didik seperti menghitung SKS dan lamanya peserta didik dalam belajar.
2)      Fungsi Produksi Dalam Psikologi
Adalah dipandang sebagai inputnya adalah sama dengan input fungsi produksi administrator akan tetapi outputnya berbeda. Hasil output yang ada pada fungsi ini adalah hasil belajar siswa yang mencakup peningkatan kepribadian dan estetika (keindahan) serta keterampilan, pengarahan dan pembentukan sikap, penguatan kemampuan, penambahan pengetahuan, ilmu dan teknologi, dan penajaman fikiran.


3)      Fungsi Produksi Ekonomi
Dalam dipandang sebagai inputnya dalah prasarana dan sarana belajar berlaku ketentuan sebagai barang modal untuk jangka waktu 25 tahun, perlu biaya untuk memperbaiki dan menjaga prasarana dan sarana tersebut karena ini adalah aset yang harus diberlakukan ketentuannya. Perhitungan harga barang yang harus dibeli karena habis terpakai,perhitungan biaya para pendidik dan tenaga kependidikian seperti guru dan pegawai administrasi dan sementara, semua uang yang dikeluarkan untuk keperluan pendidikan yaitu uang saku, membeli buku dan sebagainya selama masa belajar. Dan outputnya adalah tambahan penghasilan peserta didik kalau sudah tamat dan bekerja.
Ada kesulitan yang menghadang dalamproses pendidikan yaitu
Ø  Jika peserta didik tamat, belum tentu ia segera bekerja,
Ø  Selama menunggu untuk mendapatkan pekerjaannya maka ia memutuskan untuki bekerja seadanya, 3. Kalaupun lulusan ini bisa bekerja dengan penghasilan tiap bulan maka dia mencari tambahan diluar untuk meningkatkan nafkahnya.
Menurut Kotler (1985), fungsi produksi ekonomi ini bertalian erat dengan marketing (analisis, perencanaan, implementasi, dan pengawasan yang memberikan perubahan nilai, dengan target pasar sebagai tujuan lembaga pendidikan yang mencakup :
Ø  Mendesain penawaran
Ø  Menentukan kebutuhan atau keinginan pasar dalam hal ini peserta didik sesuai dengan kebijakan link and match
Ø  Menentukan harga efektif dengan mengadakan komunikasi, distribusu, komunikasi, dan layanan

Dalam hal ini Keuntungan marketing adalah:
  1. Meningkatnya misi pendidikan secara sukses dan terselenggara dengan baik, sebab diisi dengan program yang baik.
  2. Meningkatkan daya tarik terhadap petugas, peserta didik, dana donator.
  3. Meningkatkan kepuasan masyarakat, meningkatkan keefesiensi dan kegiatan pemasaran. Akan tetapi dalam marketing juga terdapat kelemahan yaitu lembaga pendidikan selalu dijadikan usaha dagang, dikomersilkan dalam mendapatkan keuntungan, idealisme pendidikan cenderung diabaikan dalam dunia pendidikan di Negara kita.
Menurut Mutrofin (1996), menyatakan bahwa negara-negara maju hubungannya antara pendidikan dengan pembangunan ekonomi sangatlah jelas, dimana sistem pendidikan diorientasikan kepada kebutuhan ekonomi yang didasari pada teknologi tinggi, fleksibelitas dan mobilitas angkatan kerja. Dalam masa pembangunan dinegara kita sekarang ini pengembangan ekonomi mendapat tempat strategis, dengan munculnya Link and Match, kebijaksanaan ini meminta dunia pendidikan menyiapkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai dengan pasaran kerja, mencakup mutu, dan jumlah serta jenisnya.

Ekonomi Pendidikan
Peranan ekonomi dalam pendidikan cukup menentukan tetapi bukan sebagai pemegang peranan penting, Fungsi ekonomi dalam pendidikan adalah menunjang kelancaran proses pendidikan bukan merupakan modal yang dikembangkan dan juga mendapatkan keuntungan yang berlimpah, disini peran ekonomi dalam sekolah juga merupakan salah satu bagian dari sumber pendidikan yang membuat anak mampu mengembangkan afeksi, psikomotoris, dan kognisi, juga peran lain sebagai materi pelajaran dalam masalah ekonomi dalam kehidupan manusia. Dalam memajukan dunia pendidikan tidak terlepas dari sumber dana pendidikan baik pemerintah, yayasan, setelah dana ini diperoleh harus dikelola secara professional, baik dengan SP4 (Sistem Perencanaan Penyusunan Program dan Penganggaran) dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kebutuhan yang sah.
Kegunaan ekonomi dalam pendidikan adalah :
  1. Untuk membeli keperluan pendidikan yang tak dapat dibuat sendiri seperti prasarana dan sarana, media, alat peraga dan sebagainya.
  2. Membiayai semua perlengkapan gedung, seperti air, listrik telpon.
  3. Membayar jasa dari segala kegiatan pendidikan, dan meningkatkan motivasi kerja serta meningkatkan gairah kerja para personalia pendidikan.
Sumber-sumber dana pendidikan:
  1. Dari pemerintah dalam bentuk proyek pembangunan
  2. Kerjasama dengan instansi lain, baik pemerintah maupun swasta.
Menurut jenisnya dana pendidikan terbagi atas :
  1. Dana rutin dan dana pembangunan dari pemerintah adalah dana yang dipakai untuk membiayai kegiatan rutin seperti gaji pendidikan pengabdian masyarakat, penelitian dan sebagainya.
  2. Dana pembangunan, adalah dana yang dipakai untuk membiayai pembangunan fisik diberbagai bidang artinya membangun prasarana dan sarana, alat belajar, media, dan kurikulum baru.
  3. Dana bantuan masyarakat, termasuk SPP yang digunakan untuk membiayai hal-hal yang belum dibiayai oleh dana rutin da pembangunan.
  4. Dana usaha lembaga sendiri yang penggunaanya sama dengan butir ke-3 di atas.
Di dalam mengelola dan merencanakan sumber dana maka ada tiga macam perencanaan biaya pendidikan yaitu:
  1. Perencanaan sacara tradisional, yaitu merencanakan masing-masing pendidikan maka masing-masing pendidikan tersebut ditentukan biayanya.
  2. SP4, Pengaturan jenis-jenis kegiatan dalam pendidikan diatur dalam system, alokasi dana disusun berdasarkan realita, dan semua kegiatan ditujukan pada pencapaian target pendidikan.
  3. ZBB (Zero Base Budgeting), hanya diatur untuk satu tahun anggaran
Dalam pembentukan biaya pada setiap kegiatan haruslah memperhatikan: (Vizey, 1996).
  • Perubahan harga di pasar, dan perubahan jumlah barang yang diperlukan.
  • Pertambahan jumlah siswa, dan peningkatan standar pendidikan
  • Tingkat umur peserta didik.
Effesiensi dan effektivitas dana Pendidikan
Ada dua penjelasan tentang keeffesienan dan keeffektivan penggunaan dana pendidikan yaitu:
  1. Efesiensi dalam penggunaan dana pendidikan adalah penggunaan dana yang harganya sesuai atau lebih kecil daripada produksi dan layanan serta produksi pendidikan yang sama atau melebihi rencana semula dalam pendidikan yang telah direncanakan. Adapaun factor utama dalam menentukan tingkat keefesienannya adalah penggunaan uang, proses kegiatan dalam pendidikan, dan hasil kegiatan yang telah dilakukan.
  2. Penggunaan dana secara efektif adalah jika dengan dana tersebut maka tujuan kegiatan dalam pendidikan yang telah direncanakan dapat dicapai dengan relatif sempurna.


Dampak Konsep Dalam Pendidkan
  1. Dalam dunia pendidikan factor ekonomi bukan sebagai pemegang peranan yang utama, melainkan sebagai pemeran cukup menentukan keberhasilan pendidikan sebab dengan ekonomi yang memadai dapat memenuhi semua fasilitas dan aktivitas dunia pendidikan
  2. Factor yang paling menentukan kehidupan dan kemajuan pendidikan adalah dedikasi ,keahlian, dan keterampilan pengelola dan guru dan dosen dalam setiap lembaga pendidikan.
  3. Fungsi ekonomi pendidikan menunjang kelancaran proses pendidikan,, dan sebagai bahan pengajaran ekonomi yang membentuk manusia ekonomi yaitu manusia yang dalam kehidupan sehari-harinya memilki kemampuan dan kebiasaan memiliki etos kerja, tidak bekerja setengah- setengah, produktif, dan hidup efesien
  4. Tiap lembaga pendidikan diupayakan mampu menghidupi diri sendir, dengan cara mencari sumber-sumber dana tambahan sebanyak mungkin guna memajukan dunia pendidikan
  5. Penggunaan dalam dana pendidikan haruslah secara professional dan efesiensi serta efektivitas.

8.      Landasan Religi
Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensimanusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang), maupun dalam rentang geografis dimana manusia berada. Seperti telah Anda pahami, manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui Utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertaqwa kepadaNya. Dalam keberagamaan ini manusia dapat merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang asal-usulnya, dasar hidupnya, tata cara hidupnya, dan menjadi jelas pula ke mana arah tujuan hidupnya.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu :
  • Manusia sebagai makhluk Tuhan; Manusia adalah mahluk Tuhan yang memiliki sisi-sisi kemanusiaan. Sisi-sisi kemanusiaan tersebut tdiak boleh dibiarkan agar tidak mengarah pada hal-hal negatif. Perlu adanya bimbingan yang akan mengarahkan sisi-sisi kemanusiaan tersebut pada hal-hal positif.
  • Sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; 
Agama yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi isi dari sikap keberagamaan. Sikap keberagamaan tersebut pertama difokuskan pada agama itu sendiri, agama harus dipandang sebagai pedoman penting dalam hidup, nilai-nilainya harus diresapi dan diamalkan. Kedua, menyikapi peningkatan iptek sebagai upaya lanjut dari penyeimbang kehidupan dunia dan akhirat.
  • Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. 

Pemanfaatan unsur-unsur agama hendaknya dilakukan secara wajar, tidak dipaksakan dan tepat menempatkan klien sebagai seorang yang bebas dan berhak mengambil keputusan sendiri sehingga agama dapat berperan positif dalam konseling yang dilakukan agama sebagai pedoman hidup ia memiliki fungsi :
  • Memelihara fitrah
  • Memelihara jiwa

  • Memelihara akal 
  • Memelihara keturunan
Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.




























BAB III
PENUTUP


a.      Kesimpulan

Landasan pendidikan adalah dasar atau titik tumpu dalam penentuan kebijakan dan praktek pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia berlandaskan (1) filosofis, yakni Pancasila, (2) sosioligis, yakni kondisi social masyarakat Indonesia, (3) cultural, yakni kebudayaan nasional Indonesia, (4) psikologis, yakni kondisi kejiwaan dan perkembangan peserta didikm (5) ilmu, teknologi, dan seni, yakni kebijakan dan praktik pendidikan dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni, dan (6) legalistic, yakni kebijakan dan praktik pendidikan dan dilandasi oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Untuk itu, seorang pendidik perlu menyesuaikan pendekatan yang digunakannya dalam kegiatan pembelajaran.